Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Sosok yang paling Alim dalam memahami Kitab & Sunnah, dan sosok yang paling konsisten dalam mengikutinya.
(tanggapan dan nasehat kepada Ust. M.Ramli atas tulisannya yang berjudul: IBNU TAIMIYAH, ULAMA KONTROVERSIAL DALAM BANYAK PERSOALAN)
Ust. Ramli berkata: SUNNI: “Hukum tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW maupun wali yang sudah wafat, bukan tertanam di dalam benak Muslim Sunni sekarang, akan tetapi merupakan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, ulama Salaf dan Ahli Hadits. Justru Ibnu Taimiyah adalah orang pertama yang mengharamkan tawasul dan istighatsah dengan Nabi SAW atau wali setelah wafat.”
Saya: di sini ust. Ramli telah menelan kembali ucapannya sendiri dengan mengatakan “Justru Ibnu Taimiyyah adalah orang yang pertama mengharamkan tawassul dan Istighatsah”, padahal sebelumnya dengan samar-samar ia menegaskan bahwa Ibnu Taimiyyah membolehkan Istighatsah. Hadahullah
Ust. Ramli berkata: “SUNNI: “Dalam tawasul dan istighatsah, seseorang bukan meminta tolong kepada makhluq, akan tetapi berdoa kepada Allah, disertai dengan memanggil atau menyebut nama seseorang yang mulia menurut Allah, seperti Nabi SAW atau wali. Oleh karena itu, istighatsah dan tawasul tidak termasuk perbuatan syirik. Terbukti Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri berkata dalam al-Kalim al-Thayyib:”
Saya: Ust. Ramli masih belum bisa membedakan antara tawassul dengan Istighatsah, di sini akan saya paparkan sedikit semoga beliau mau memahaminya: Istighatsah ialah permohonan untuk menghilangkan Syiddah (kesusahan yang sangat), dan terbagi menjadi tiga bagian:
1. Istighatsah kepada Allah. Ini jelas hukumnya di anjurkan
2. Istigatsah kepada Makhluk pada urusan yang ia mampu seperti meminta kepada dokter agar di obati. ini pun boleh hukumnya.
3. Istighatsah kepada makhluk pada perkara yang tidak mampu ia lakukan, seperti meminta kesembuhan dengan memanggil nama seorang wali disertai dengan ucapan meminta seperti : wahai wali Allah tolonglah sembuhkan aku. Inilah istihgatsah yang terlarang dan bentuk nyata dari pe-nyekutuan kepada Allah dengan makhluknya, yang tidak satu pun hal ini pernah dilakukan oleh generasi terbaik.
Adapun tawassul: adalah berdoa kepada Allah dengan menyebut nama seorang yang memiliki kemuliaan di sisi Allah dengan harapan bahwa penyebutan nama orang tersebut dapat memudahkan terkabulnya doa, inilah perbedaan antara Istigatsah dan tawassul. Adapun anggapan Istighatsah bukan meminta tolong kepada makhluq, maka saya belum mendapatkan seorang pun dari kalangan ulama – yang membolehkan istighatsah -mengatakan hal tersebut.
Ust. Ramli berkata: “Sunni : Kalau seandainya Ibnu Taimiyah tidak memperbolehkan istighatsah, mengapa beliau mengutip riwayat dari Ibnu Umar ketika kakinya mati rasa lalu berkata “Ya Muhammad”? Apakah Nabi SAW mampu, tanpa pertolongan Allah, menyembuhkan mati rasa seseorang??? Bukankah ini bagian dari istighatsah???”
Saya: Syaikhul Islam meriwayatkan Atsar Ibnu Umar itu dalam kitab Al-Kalimut thoyyib di bawah sebuah pasal yang berbunyi: “pasal tentang kaki apa bila mati rasa” dari pemberian pasal ini saja dapat dipahami bahwa beliau tidak ada tujuan menganjurkan istighatsah dengan menukil Atsar Ibnu Umar, dan hal ini juga yang dilakukan oleh imam nawawi ketika menyebutkan Atsar tersebut dalam Al-Adzkar, Imam nawawi berkata: “Bab apa yang akan diucapkannya jika kakinya mati rasa”
باب ما يقوله إذا خدرت رجله
Imam Nawawi selanjutnya menukilkan riwayat yang masih terkait dengan fiqh dari Atsar Ibnu Umar, beliau berkata:
وروينا فيه عن إبراهيم بن المنذر الحزامي أحد شيوخ البخاري الذين روى عنهم في ” صحيحه ” قال : أهل المدينة يعجبون من حسن بيت أبي العتاهية :
وتخدر في بعض الأحايين رجله * فإن لم يقل يا عتب لم يذهب الخدر
Dan telah meriwayatkan padanya dari Ibrahim Bin Al-Mundzir Al-Hazamiy, salah seorang guru dari Imam Bukhari yang beliau meriwayatkan (hadits) dari mereka di dalam Shahihnya, berkata: “penduduk Madinah terkagum dengan bagusnya Bait (Syair) Abi Al-‘Atahiyah yang berbunyi:
Dan kakinya mati rasa pada sebagian waktu * maka jika ia tidak mengucapkan wahai ‘Atab tidaklah hilang mati rasa itu.
Penting wahai saudaraku ust.Ramli : Bait di atas semakin jelas membenarkan bahwa Atsar Ibnu Umar bukan istighatsah, namun hanya suatu metode penyembuhan mati rasa pada kaki yang telah digunakan oleh bangsa arab, dan hal ini telah kami sampaikan pada tulisan sebelumnya.
Demikian juga Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad telah memberikan bab atas Atsar Ibnu Umar, beliau berkata:
( باب ما يقول الرجل إذا خدرت رجله ) Bab: kalimat apakah yang akan di ucapkan seorang apabila kakinya mati rasa.
Tidak satupun dari ulama besar ini memahami bahwa Atsar Ibnu Umar adalah anjuran untuk beristighatsah, mereka Rahimahullah hanya menunjukkan kepada kita bahwa menyebut nama orang yang dicintai khusus ketika kaki mati rasa adalah penawarnya.
Para Ulama di atas tidak memahami bahwa Ibnu umar meminta pertolongan kesembuhan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam yang sedang tidak berada di hadapan beliau seperti yang dipahami oleh ust. Ramli. Dan mereka (Imam nawawi dan Imam Bukhari) adalah Ulama madzhab Syafi’i, tidak lancang mengatakan bahwa di sini Ibnu Umar beristighatsah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam.
Ust. Ramli berkata: Sementara dalil beristighatsah dengan makhluq, riwayatnya shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Abdullah bin Umar berkata: “Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari mendekat pada hari kiamat, sehingga keringat mencapai separuh telinga. Ketika umat manusia demikian, mereka ber-istighatsah dengan Nabi Adam, kemudian dengan Nabi Musa dan kemudian dengan Nabi Muhammad SAW.” (HR al-Bukhari)”.
Saya: Jika yang diinginkan ust. Ramli dengan hadits ini adalah membenarkan Istighatsah kepada makhluk pada perkara yang tidak dikuasainya kecuali oleh Allah, maka tidak tepat, karena:
1. Hadits ini menceritakan tentang kejadian di hari Akhirat, dan kejadian pada hari akhirat tidak di jadikan sebagai dalil dalam menentukan hukum haram dan halal, namun kerap digunakan sebagai penekanan akibat dari baik atau buruknya suatu amalan. Seperti halnya kelak di akhirat manusia di bangkitkan dalam keadaan telanjang dan tanpa alas kaki, lalu apakah keadaan ini kemudian sah di jadikan dalil bahwa telanjang di dunia boleh? Shalat tidak lagi didirikan pada hari akhirat, lalu apakah di dunia Shalat boleh tidak didirikan?
2. Hadits ini menunjukkan keutamaan para Nabi dan Rasul terutama Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, di mana beliu diberikan keistimewaan untuk memberikan Syafaat kepada ummatnya, inilah Maqamul mahmudah, dan manusia meminta para Nabi agar memohonkan kepada Allah agar kesusahan mereka dipercepat, bukan meminta kepada para Nabi agar mereka para Nabi itu sendirilah yang membebaskan manusia dari matahari yang condong ke kepala manusia, ini tidak mungkin sebab hari itu diluar kekuasaan mereka, dan hari itu adalah hari yang hanya dirajai oleh Allah semata. Perhatikanlah petikan Hadits berikut ini:
وَتَدْنُو الشَّمْسُ فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَا لاَ يُطِيقُونَ وَمَا لاَ يَحْتَمِلُونَ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ أَلاَ تَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيهِ أَلاَ تَرَوْنَ مَا قَدْ بَلَغَكُمْ أَلاَ تَنْظُرُونَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ ائْتُوا آدَمَ. فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو الْبَشَرِ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ آدَمُ إِنَّ رَبِّى غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ وَإِنَّهُ نَهَانِى عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِى اذْهَبُوا إِلَى نُوحٍ (رواه مسلم )
…..Dan matahari merendahkan posisinya hingga sampai kepada manusia kegundahan dan kesusahan yang mereka tidak sanggup menghadapinya dan mereka tidak kuat menahannya, maka berkatalah sebagian manusia kepada manusia lainnya, “tidakkah kalian melihat keadaan yang tengah melanda kalian? Tidakkah kalian melihat perkara yang telah sampai kepada kalian? Tidakkah kalian melihat orang yang akan membantu kalian kepada Rabb kalian?, maka sebagian manusia berkata kepada yang lainnya: “temuilah Adam” , Maka mereka pun menemui Adam dan berkata: Wahai Adam, Anda adalah bapaknya manusia yang Allah telah menciptakanmu dengan Tangannya, dan Allah telah meniupkan Ruh darinya kepadamu, dan telah memerintahkan para Malaikat sampai mereka bersujud kepadamu, Bantulah kami kepada Rabbmu, tidakkah engkau melihat keadaan yang telah sampai kepada kami? Maka Adam berkata: sesungguhnya Rabbku telah murka kepadaku, kemurkaan yang tidak pernah seperti ini ia murka dari sebelumnya, dan tidak akan murka setelahnya seperti ini, dan bahwa Allah sebenarnya telah melarangku dari pohon lalu aku melanggar larangan itu, diriku, diriku, pergilah kalian kepada yang lain, pergilah ke Nuh. (HR: Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa manusia meminta bantuan (istighatsah) kepada para Nabi agar memohon kepada Allah supaya kesusahan mereka dimudahkan. Bukan istighatsah kepada Adam dan lainnya pada perkara yang tidak bisa dikerjakan oleh Adam dan lainnya, dan dalam hal ini mereka para Nabi tersebut memiliki kapasitas untuk mengajukan permohonan kepada Allah. Maka tidak ada jalan untuk berdalil dengan hadits ini guna membolehkan Istighatsah kepada makhluk pada urusan yang hanya Allah yang menguasainya.
Namun jika yang diinginkan oleh Ust.Ramli dengan Hadits yang ia nukilkan adalah boleh istighatsah kepada makhluk pada perkara yang mampu untuk dilakukan sesuai kapasitasnya sebagai makhluk, maka tidak ada masalah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Ust. Ramli berkata: ”Jawabannya, dari riwayat di atas, di mana Ibnu Taimiyah mengutip dari Ibnu Abi al-Dunya, yang hidup pada masa salaf, yang meriwayatkan dalam kitabnya Mujabi al-Du’a’, dari kisah Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar yang hidup pada masa Salaf juga. Jadi kisah tersebut terjadi pada masa Salaf dan diriwayatkan oleh ulama Salaf untuk diamalkan”.
Saya: “Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar adalah Ulama yang hidup pada masa Shigharuttabi’in dan beliau di sebutkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al—Tsiqaat. dalam Kisah tersebut ada seorang lelaki yang mendatangi beliau namun sayang lelaki ini tidak diketahui keberadaan dan kredibilatasnya dalam Jarh dan Ta’dil, disamping juga dia bukan seorang Shahabat, lalu bagimana kita akan mengambil hujjah dari seorang lelaki yang belum jelas!!? Oleh sebab itulah kisah ini menjadi cacat dan tidak bisa di jadikan Hujjah layaknya kisah-kisah yang terbangun dari mimpi. Jika demikian adanya maka gugurlah berdalil dengannya. Wallahu A’lam”.
Ust. Ramli berkata: Dalam redaksi doa ulama Salaf tersebut, sangat jelas ada kalimat memanggil nama Nabi SAW, padahal Nabi SAW sudah wafat lebih dua ratus tahun? Bukankah ini namanya istighatsah???”
Saya: ini bukan istighatsah, yaitu meminta kepada Rasulullah yang telah wafat dua ratus tahun lalu, namun ini adalah hanya sebuah Nida’ biasa, sebab di awal doa, lelaki tersebut hanya berdoa kepada Allah semata, inilah terjemah dari doa tersebut:
“ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu ‘Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar ia (Allah) mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku.”
Kata “wahai muhammad” di sini sudah jelas bukan meminta tolong namun hanya sekedar memanggil biasa seperti yang telah kami paparkan sebelumnya pada Atsar Ibnu Umar. (Semoga Ust. Ramli lekas memahami antara Tawassul dan Istighatsah) Dari itulah kemudian Syaikhul Islam merincikan fikih dari Atsar ini sebagai hukum tawassul bukan Istighatsah. Walhamdulillah.
Kemudian sisa dari tulisan Ust.Ramli berikutnya tidak saya tanggapi karena isinya tidak lebih dari perendahan dan meremehkan ulama, siapa pun yang membacanya akan memahami hal itu, di antaranya ucapan ust. Ramli atas Ibnu Taimiyyah adalah:
” Siapa yang membaca kitab tersebut, akan bingung, karena isinya membingungkan”. (yang dimaksud adalah kitab Qaidah Jalilah fitTawassul Wal Wasilah)
“siapa yang bersengketa Syaikh? Bukankah yang bersengketa itu Anda sendiri Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melawan pendapat kaum salaf dan ahli hadits?? Lalu kalau harus kembali kepada Allah dan Rasul, bukankah Anda sendiri yang menyimpang dari pendapat kaum Salaf yang mengikuti ajaran Allah dan Rasul???”
“Mengapa dia hanya melontarkan isu atas nama ulama Salaf dan tidak menyebutkan nama-namanya? Jangan-jangan Syaikh Ibnu Taimiyah salah ingat atau memang berbohong???”
“Yang jelas isi pernyataan ini adalah kebohongan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang memalukan.”
“Ibnu Taimiyah memang sering membuat isu”
Namun kami tidak perlu Khawatir, sebab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ibarat gunung yang tinggi kemudian ada seekor lalat kecil ingin menabrak gunung tersebut dan lalat ini menyangka gunung itu akan roboh dengan tabrakannya.
Adapun tentang Atsar yang dari Ibnu Abid Dunya memang saya sedikit keliru telah menyebutnya terbangun dari mimpi, itu karena faktor ketergesa-gesaan saya, dan syukran atas kritiknya.
Penutup.
Janganlah kalian mencela yang telah wafat, sesungguhnya mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka perbuat, terlebih jika orang tersebut adalah seorang Ulama yang telah menghabiskan umurnya demi agama, tidaklah layak bagi siapapun merendahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada hari ini, siapa pun orangnya, andai saja kita mau bersikap adil maka cukuplah keberadaan imam Ibnu Katsir Rahimahullah sebagai bukti akan kemuliaan Ibnu taimiyyah, bagaimana tidak demikian, Ibnu Katsir adalah Murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Sangat tidak berimbang rasanya jika kita bertaqlid kepada beberapa orang Ahli Ilmu dalam menghukumi kwalitas seseorang yang tidak kita anggap sebagai seorang yang patut untuk di hormati, lalu dengan taqlid tersebut kita terus mempertahankan empati dan dalam diam membangun tembok penghalang untuk menolak pendapatnya.
Setelah semua ini, saya tidak tahu bagaimana kelak kita akan dipertemukan oleh Allah di hari kiamat dengan Ibnu taimiyyah atas tuduhan-tuduhan di atas.
Demikian semoga Allah menambahkan kita Ilmu dan memberkahinya untuk kita Amiin.
Musmulyadi lukman
Kota Bekasi, Malam jum’at, 16 mei 2013